RESENSI: THE PEARL THAT BROKE ITS SHELL

 



RESENSI BUKU










JUDUL : THE PEARL THAT BROKE ITS SHELL

PENGARANG : NADIA HASHIMI

PENERBIT : BHUANA ILMU POPULER

TAHUN TERBIT : 2014

TEBAL BUKU : 598










Buku ini menceritakan tentang kehidupan Rahima serta perempuan-perempuan yang hidup di negara yang menjunjung tinggi patriarki. Rahima lahir di sebuah keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki. Rahima memiliki empat orang saudara perempuan. Dua di antaranya adalah kakak perempuannya yang bernama Shahla dan Parwin. Keinginan para perempuan di sana untuk mengenyam pendidikan dan merasakan kebebasan adalah hal yang mustahil. Hanya laki-laki yang diperbolehkan sekolah dan melakukan segala hal yang di inginkan. Di Afghanistan, ada tradisi bacha posh. Tradisi ini dilakukan di setiap keluarga yang tidak miliki keturunan laki-laki dengan cara mengubah penampilan anak perempuan sampai umur yamg telah ditentukan. Dengan hal ini, maka Rahima bisa mendapatkan halnya untuk sekolah dan merasakan dunia di luar rumahnya. Hal ini berlaku hanya sampai perempuan tersebut menikah. 


Namun, hal itu tidak berjalan lama rupanya. Ayahnya yang pecandu narkoba memilih menikahkan anak-anaknya yang masih di bawah umur dengan pimpinan perang yang seumuran dirinya. Rahima, Shahla dan Parwin dinikahkan secara bersamaan dengan pimpinan perang yang sama-sama memiliki umur yang jauh. Ayahnya mendapat keuntungan besar dari menikahkan putra-putrinya berupa lahan opium yang sangat luas. Sementara setelahnya, Ibu mereka ikut menjadi pecandu obat terlarang itu karena depresi. 


Rahima pun mendapat perbedaan hak yang sangat mencekiknya. Ia menjadi istri ketiga seorang pimpinan perang dan memiliki seorang anak laki-laki yang akan memberikan kehidupan yang lebih baik, namun selang beberapa tahun anaknya meninggal dan Rahima kembali mendapatkan ketidakadilan. Saudarinya, Parwin, membakar dirinya sendiri karena tidak tahan hidup penuh kekangan. 


Kisah yang dialami oleh Rahima itu sama seperti Shekiba, buyutnya yang sering diceritakan oleh Bibinya, Shaima. Sebagai seorang yatim piatu yang berjuang bangkit dari kemalangan bertubi-tubi demi membangun hidupnya yang baru. Kisah Shekiba menginspirasi Rahima untuk bangkit. Pada akhirnya, Rahima pun berani untuk mengambil segala resiko seiring dengan umurnya yang semakin matang untuk kabur dan meniti kehidupan barunya. Ia dibantu oleh kenalannya yang ditemuinya selama membantu istri kedua suaminya dalam pemerintahan di kerajaan. 


Novel ini memiliki mengambil tema tentang isu sosial dan juga perbedaan hak yang sering terjadi di beberapa negara. Latar tempat yang dibangun di sini adalah desa di negara Afganistan yang di mana orang-orang setempat masih memiliki pemikiran tertutup dan bersifat kasar. Novel ini benar-benar menceritakan secara detail betapa tidak adilnya hak antara perempuan dam laki-laki, di mana pihak perempuan di sini hanya dijadikan sebagai objek dan tidak diberikan ruang untuk sejajar dengan laki-laki. 


Alur yang dipakai oleh penulis adalah maju mundur, karena menceritakan kisah Rahima dan Shekiba yang dimodifikasikan selang-seling. 


Gaya bahasa yang digunakan mudah dimengerti, dan disisipkan catatan kaki supaya dapat memahami beberapa istilah yang diselipkan di buku. 


Selanjutnya, penokohan. Tokoh-tokoh yang ada di novel ini seperti Rahima si gadis bacha posh, Shekiba yang memiliki ciri fisik cacat wajah, Shahla, kakaknya yang cantik, Parwin yang memiliki cacat kaki, Bibi Shaima yang berpunggung bungkuk, Ayahnya yang pecandu opium dan prajurit perang. 


Novel ini memiliki banyak keunggulan, dilihat dari banyaknya diksi dan perumpamaan yang menyentuh hati, serta isi cerita dan alurnya yang sangat menggigit. Sedangkan kekurangan novel ini adalah, endingnya kurang memuaskan dan terkesan dipaksakan, banyak sekali plot hole atau hal-hal kurang logis yang bisa ditemui. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI: BROTHERMAKER

RESENSI: MISTERI KOTA LAUTAN API